Sejarah Desa

31 Januari 2017 19:18:39 WITA

 

SEJARAH DESA BANYUPOH

 

Pendahuluan

 

Banyupoh yang dikenal sekarang adalah Nama sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali.Apabila diperhatikan dari letak Desa Banyupoh yang sangat strategis, karena dilindungi oleh Daerah Perbukitan disebelah menyebelahnya. Jadi secara alami Desa Banyupoh sudah otomatis dibentengi oleh Perbukitan yang sangat tinggi dan terjal sehingga hal ini sangat menguntungkan dilihat dari segi Pertahanan Keamanan.

Desa Banyupoh memiliki Latar Belakang Sejarah yang sangat memikat dan menakjubkan serta diduga memiliki kaitan yang sangat erat dengan Sejarah keberadaan Pura Agung Pulaki dan Pesanakannnya yang berada di Desa Banyupoh , Kecamatan Gerokgak.

Karena pada Abad ke-14 sekitar Tahun 1489 Masehi. Daerah ini bernama “Pulaki”. Data yang menyebut tentang Pulaki yakni dalam Buku ‘Dwi Jendra Tatwa’ yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa pada halaman 13/14 tertulis “Baiklah Adikku diam disini saja bersama-sama dengan Putri Kita Ni Swabawa. Ia sudah Suci menjadi Batari Dalem Melanting dan Adinda boleh menjadi Batari Dalem Ketut yang akan dijunjung , disembah oleh Orang-Orang disini , di Desa bersama-sama Orang-Orangnya yang ada disini yang akan Kanda Pralinakan (Hanguskan) agar tidak kelihatan oleh Manusia Biasa semuanya menjadi Orang Halus(Wang Gamang) Namanya Orang Sumedang dan Daerah Desa ini kemudian Bernama Mpulaki”.

            Dan sejak awal kemungkinannya sudah pernah menjadi pusat aktivitas kehidupan masyarakat, baik pada jaman prasejarah maupun dalam jaman sejarah baik aktivitas dalam bidang pemerintahan, agama, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

            Hal ini dapat dilihat dari keberadaan jenis-jenis pura yang ada di Pulaki dan sekitarnya, antara lain: Pura Pulaki, Melanting, Kertakawat, Pamuteran, Pabean, Belatungan, Pucak Manik, dan lain-lain.

            Data lain menyebutkan bahwa Pulaki pernah menjadi pusat kekuasaaan di Dauh Enjung. Yang dimaksud Dauh Enjung adalah keberadaan Den Bukit atau Bali Utara atau Buleleng ini di bagi dua yakni Daerah Barat disebut Dauh Enjung sampai di Enjung Sanghyang dan di Daerah Timur disebut Dangin Enjung yakni dari Enjung Sanghyang sampai ketimur.

            Disamping Pulaki dikenal dari segi Tempat Suci kelihatannya Pulaki juga ada Tanda-Tanda bahwa dulunya adalah merupakan pusat kekuasaan atau kerajaan, kendati pun belum dapat diketahui dengan jelas kapan munculnya kerajaan Pulaki dan kapan pula Hancurnya.

            Nama Pulaki mulai terungkap dalam sebuah tulisan yang disusun oleh Bapak Ketut Ginarsa dalam Bukunya Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, bahwa pada Tahun 1343 Gajah Mada menyerang Bali dan waktu itu salah satu Desa yang dilalui adalah Desa Pulaki, hal ini dapat diketahui dari Kutipan pada halaman 34/35. Buku tersebut di atas berbunyi “Turun di Jembrana. Dari sana mereka berbaris menuju Desa-Desa Pedalaman misalnya: Desa Pegametan, Pulaki dan Wangaya. Disini mereka berjumpa dengan seorang Penyarikan (Wakil Kepala Kampung)”.

Ada lagi suatu petunjuk yang lebih jelas tentang Pulaki sebagai Pusat Pemerintahan sebagai yang tercantum dalam “Palelintih Sirarya Gajah Para” Kunang I Gusti Made Pegametan, Ngalap Rabi Anak De Bendesa Pulaki angraris wesma ring Pulaki, Hana sutania roro, kakung sawiji aname I Gusti Ngurah Pulaki “ Kemudian tertulis lagi “Ne Kakuasa antuk I Gusti Ngurah Pulaki, sawetaning Banyuwedang luire kang Desa tekang Dusun-Dusun, Wetan Desa Pulaki Singakertha, Tanjung Karang, Banjar Raras, Padang Sari, Pulet Mulih, Padang Goak, Abian Sedah, Pucuk Bang, Gerokgak, Celukan Bawang, Setra Dagang, Tukadsumaga, Banjarasem, Raja Tama, miwah Predesa Loring Pulaki Dusun-Dusun iwince kance sari, Silung Nagara, Tangan Ukir, Banyumalet, Tukpak Ringping, Kaliaga, Dadap Putih, Bading Kayu, Manggis Kembar, Pasar Manggis, Badjra, muah Kakisiking Sagara, Desa Parang Sari, Nama Kusuma, Kamik Tirta, Ampas Negara Parianom, Ketapang, Telaga Tunjung, Mangkana, kuwehing Desa/Dusun kabeh, Bacakan nikang 15.000 (Lima Belas Ribu).

            Artinya kurang lebih demikian: “Inggih kawentenan I Gusti Made Pegametan Ngambil Rabi Putran Ki Bendesa Pulaki, ngraris megenah ring Pulaki wenten Putran Ida kekalih , Lanang asiki mapesengan I Gusti Ngurah Pulaki”. “Daerah Kekuasaan I Gusti Ngurah Pulaki Banyuwedang ketimur meliputi Desa dan Dusun-Dusun, sedangkan Daerah Kekuasaan di timur Pulaki meliputi Desa Singakertha, Tanjung Karang, Banjar Raras, dan lain-lain seperti yang diuraikan diatas dengan jumlah Desa dan Dusun sebanyak 15.000 (Lima Belas Ribu)”.

            Dari temuan data yang tersebut di atas dapat diraba, bahwa Pulaki adalah merupakan pusat pemerintahan, terutama di bawah Kekuasaan De Bendesa Pulaki dan I Gusti Ngurah Pulaki menantu dari De Bendesa Pulaki dan apabila ditelusuri De Bendesa Pulaki ini menurut sumber Babad Arya Gajah Para Beliau adalah Keturunan Seorang Brahmana Keling, yang kemudian menguasai Daerah atau Desa-Desa: Pegametan, Tanjung Karang, Singkertha, Jembrana, Tanjung Kertha, dan Bading Kayu.

Adapun Daerah Kekuasaan Pulaki apabila dilihat dari sumber tersebut diatas ternyata cukup luas yakni meliputi Daerah Jembrana di bagian barat, di timur adalah sampai Tukad Saba, Keselatan sampai Badjra Kabupaten Tabanan, dan di utara adalah Laut Bali bagian barat. Di sisi lain terutama di kawasan Teluk Pulaki disana juga banyak ditemukan sumber-sumber Mata Air Tawar, maka kawasan ini menjadi cukup ramai dikunjungi oleh Perahu-Perahu Dagang yang memerlukan Air sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam Pelayaran menuju Jawa, sampai kearah Timur yakni menuju Maluku.

Demikian pula adanya kemungkinan bahwa pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan mungkin dalam bentuk Barter , dan Barang yang kemungkinan dapat dihasilkan dan menjadi Bahan Komoditi yang handal adalah Gula yang dibuat dari Nira yang berasal dari Rontal.

Pada zaman itu para Pelaut terutama pedagang memerlukan bahanmakanan yang dapat tahan lama tidak busuk dan mempunyai Nilai Gizi yang tinggi yang dapat dibawa Berlayar selama berminggu-minggu dan atau juga berbulan-bulan dan bahan ini adalah Gula Aren atau Gula Rontal.

            Hal ini dapat dihubungkan sampai saat ini tanaman rontal disepanjang pantai dari Gilimanuk ketimur sepanjang Pesisir Pantai Utara Pulau Bali cukup banyak kita dapatkan Tanaman Rontal tersebut, Tanaman Rontal ini juga dapat ditemukan di sekitar Daerah Pulaki.

            Atas dasar ini dapat diperkirakan bahwa di Teluk Pulaki semenjak jaman dahulu sudah ada Perdagangan dalam Bentuk Barter .  Dari   Uraian  diatas  dapat   diduga bahwa Daerah ini sudah ada semenjak jaman Prasejarah baik yang berhubungan dengan Tempat Suci maupun sebagai Tempat Aktivitas lainnya.

 

 

SEJARAH DESA BANYUPOH

 

            Kapan dan Siapa yang Membangun atau Pendiri Desa yang kita Warisi sampai saat ini ??? Hal ini memang benar-benar sulit dijawab secara tuntas, karena sumber-sumber baik yang merupakan temuan Kepurbakalaan maupun Data Tertulis dalam Lontar, atau Prasasti misalnya, yang bisa dijadikan Pedoman dalam Menyusun Sejarah Desa Banyupoh sampai saat ini masih sangat sulit untuk mendapatkannya.

Namun demikian masih ada secercah Sinar yang menerangi Jalan untuk dapat membuka kerahasiaan keberadaan Desa Banyupoh yang kita cintai ini dengan cerita dari para Tetua yang Merintis Desa ini, yang dapat dipercaya oleh Masyarakat setempat sebagai Sejarah Kelahiran Desa.

Jika kita menelusuri jejak Sejarah Desa Banyupoh pasti kita bersua dengan catatan Riwayat para Pendatang dan Kisah Para Pengelana.

Mereka Para Perantau berjiwa Pelopor yang penuh Keberanian dan perhitungan membuka daerah-daerah baru, menciptakan peradaban dan aturan-aturan baru, memberi tempat yang nyaman bagi generasi kemudian .

Pertama-tama mengacu dengan adanya Kisah Pralina (Hanguskan) Desa Mpulaki Tahun 1489 Masehi dan Daerah ini praktis kosong sampai Tahun 1920, tanpa penghuni manusia selama lebih kurang 431 tahun,  sudah  pasti daerah tersebut menjadi hutan belantara dan hanya dihuni oleh binatang-binatang buas seperti misalnya: babi hutan, harimau, banteng, ular, kera, dan lain-lain.

Barulah sekitar tahun 1920, dimana daerah ini dikontrakkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina yang Bernama ANG TE KWATH selama kurang lebih 30 tahun mulai dihuni oleh Orang-Orang diluar Pulau Bali, mungkin dari Jawa, Madura, Mandar, dan lain-lain bekerja sebagai Buruh Ang Te Kwath dan hanya berani membuat tempat tinggal pemondokan mereka di pinggir laut sehingga dari sinilah kiranya muncul nama Banyupoh.

Arti Banyupoh bukan berarti desa yang banyak mempunyai mata air dan ditumbuhi banyak pohon mangga. Tetapi Banyupoh ini kemungkinan berasal dari Kata “banyu” dan “po” yang artinya banyu adalah air dan po berarti Tepi/Pinggir Laut.

Dari kata-kata banyu dan po; itu kemudian muncul nama Banyupo lama kelamaan menjadi Banyupoh dan sampai saat sekarang menjadi nama sebuah desa yakni Desa Banyupoh.

Alkisah, Desa Banyupoh adalah tipe desa Anyar (desa baru) yaitu desa yang muncul atau terbentuk akibat dari perpindahan penduduk , atau pendatang yang semula didorong oleh keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan yang selanjutnya menetap dari kelompok-kelompok pendatang dari wilayah pulau Bali sebagaian besar dari Karangasem, Jembrana, Gianyar, dan Buleleng sendiri antara lain dari Sinalud, Patemon, Bubunan, Kalisada, Tegallenge, Sulanyah, Gambuh, Pengastulan, dan Seririt dan sekitarnya, serta dari Sudut-sudut Jawa Timur antara lain dari Jember, Banyuwangi, Muncar, Situbondo, dan Madura serta Bugis.

Kehadiran mereka secara bergelombang dan mengawali merabas,membabat hutan belantara pada  tahun  1954 selanjutnya disusul oleh kelompok-kelompok yang lain terus berdatangan setiap Tahun kian bertambah, dan yang datang paling terakhir pada tahun 1955. Sedangkan yang hanya sebagai buruh/ kuli/dagang datang belakangan antara tahun 1957 sampai 1958 dan diperkirakan mereka-mereka yang ikut merabas hutan pada saat itu kurang lebih 125 (seratus dua puluh lima) KK.

            Dalam perabasan hutan banyak yang tidak tahan melawan serangan penyakit malaria karena daerah ini pada saat itu dikenal dengan sarang nyamuk malaria bahkan ada yang sampai meninggal dunia lagi pula banyak yang kembali ke kampung halaman mereka.

 

 

Membuka Lahan Baru bukan hal yang gampang , eronisnya mereka-mereka hanya tercatat berstatus Penyakap (Penggarap) pada Ang Te Kwath yang menguasai Daerah ini setelah mengganti rugi dari Pengontrak sebelumnya yang bernama TUAN CALI (Orang Cina).

            Menurut Penuturan Tetua salah seorang Perintis Desa ini bernama Ketut Kusah , yang kini usianya sudah 90 Tahun bahwa Ang Te Kwath selaku Penguasa Daerah ini mewajibkan para Penyakap untuk menyerahkan sebagaian hasil mereka setiap Tahun yang waktu itu berupa Hasil Tegalan yaitu Jagung. Namun Syarat itu tidak sempat diberlakukan karena digugat oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Bali , bahwa Ang Te Kwath dinyatakan menyalahi ketentuan sebagai Pengontrak Daerah ini dengan tujuan bukan untuk Lahan Pertanian bahkan Daerah ini tetap dijadikan Hutan Belantara dengan dasar itu Kepala Daerah Tingkat I Bali menganjurkan agar Daerah ini diberikan kepada Para Penyakap untuk Lahan Pertanian bukan hasilnya dibagi namun Lahannya dibagi-bagikan kepada Para Penggarap, demikian Ketut Kusah menceritakan.

 

            Sebagai Tindak Lanjut anjuran Pemerintah Daerah Tingkat I Bali  PD setempat (Pemerintah Daerah setempat) berkoordinasi dengan Agraria Singaraja serta melalui Musyawarah dan Rembug dengan para Pemuka Masyarakat saat itu seperti Pasek Dogol, Wayan Jegjeg, dan lain-lainnya akhirnya tepat pada Tanggal 14 Mei 1958 Daerah ini Resmi dibagikan kepada para Penggarap yang termasuk sebagai Penyakap Ang Te Kwath dengan   Surat   Ijin   Pemerintah   Daerah   Tingkat   I   Bali   Tahun  1958 , Selanjutnya dilakukan Pengukuran oleh Tukang Ukur Tinggkat I Bali  dibantu oleh Masyarakat setempat selama kurang lebih 1 Minggu.

 

            Hasil Pengkuran menyatakan bahwa Luas Lahan keseluruhan Daerah ini adalah seluas 300 (Tiga Ratus ) Hektar, namun yang dibagikan hanya 200 Ha lebih dengan ketentuan Para Penerima Bagian tetap dilokasi Rabasan masing-masing, kalau toh bergeser jumlahnya sedikit. Masing-masing menerima 90 (Sembilan Puluh) Are untuk Ladang dan 6 (Enam) Are untuk Pekarangan Rumah, terkecuali yang menerima bagian pada lokasi Eks Garapan Ang Te Kwath yang sudah berupa Cetakan Sawah dan sedikit ada Tanaman Jeruk Peninggalan dari Tuan Cali, menerima 75 (Tujuh Puluh Lima) Are dan 6 (Enam) Are untuk Pekarangan Rumah. Mengingat Lahan sudah habis dibagikan kemudian masih ada 1 (Satu) Orang yang ketinggalan dan mereka tercatat sebagai Penyakap Ang Te Kwath bernama Pan Suada mereka diberikan Lahan dengan Luas yang sama di Pegametan.

 

            Selanjutnya para Penerima Hak diwajibkan memasukkan Uang ganti rugi kepada Negara sebesar Rp. 15 (Lima Belas Rupiah) dicicil selama 5 (Lima) Tahun dari Tahun 1958 s/d 1963. Setelah lunas para Penerima Hak menerima Tanda Bukti berupa Surat Ijin Tahun 1958 lengkap dengan Gambar situasi Tata Letak Tanah beserta Petuk D sekaligus sebagai Tanda Bukti untuk Pembayaran Pajak.

            Selain untuk Lahan Pertanian dan Perumahan juga disediakan Lahan untuk kebutuhan yang bersifat umum seperti misalnya: Lahan Kuburan semua Umat, Alun-Alun, Tempat Ibadah masing-masing Umat yang ada saat itu, Pasar Desa , Balai Desa , Sekolah dan Pelaba Pura dengan Luas yang berbeda-beda. Dengan tersedianya Lokasi Sekolah maka pada Tanggal 01 Oktober 1958 didirikan SR (Sekolah Rakyat) yang berlokasi di Banjar Banyupoh dengan Batas-Batas: Utara: Pura Dalem, Selatan: Jalan Raya, Timur: Tanah Swapraja milik Kehutanan Barat: Sungai Banyupoh. Dengan Bangunan Eks Gudang Kapur Peninggalan Ang Te Kwath menggunakan Peralatan seadanya, Tempat Duduk pakai Kayu Balok tanpa Bangku Tulis, Alat Tulis masih pakai Lai dan Grip, tenaga Guru asal Bubunan yang bernama Ketut Latra. Pada awal Tahun 1964 Sekolah dipindahkan kesebelah Barat Alun-Alun Banyupoh menjadi SD Banyupoh (Sekolah Dasar  No 1 Banyupoh yang sekarang).

Disediakannya sebidang Tanah untuk Pasar bertujuan agar dimasa depan memiliki Pasar Desa, sebelum didirikan Pasar sejak awal kurang lebih mulai Tahun 1958 Tanah Pasar tersebut mulai dihuni oleh mereka para Pendatang yang tidak menerima Pembagian Tanah khusus yang ada minat Tinggal di Lokasi Tanah Pasar. Mereka diberikan Tinggal pada Deretan Depan mengelilingi Tanah Pasar kecuali di Deretan sebelah timur dikosongkan. Masing-masing ada yang buka Usaha Kecil-kecilan Warung (Meracang, Palen, Minuman) dan  Bengkel Sepeda. Sedangkan ditengah dikosongkan dan masih dimanfaatkan untuk Kebun Pisang dan Sayur-Sayuran dan lama-kelamaan sejak Tahun 1981 di Tanami Anggur hasilnya masuk ke Kas Desa.

 

            Sejak di terapkan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaraan Keuangan Desa (APPKD) atau sebutan lain saat itu kurang lebih mulai dari Tahun 1969 para Penghuni Tanah Pasar diwajibkan membayar Sewa setiap Tahun setiap Lokasi yang awalnya berukuran sama 5 x 8 Meter namun lama-kelamaan dirasakan kurang mencukupi luasnya mereka mengembangkan sendiri-sendiri.

 

            Dan kepada mereka selalu dihimbau dan dianjurkan untuk membuka Usaha Berwarung atau Toko dengan bentuk Bangunan yang sama memanjang nyambung kesamping agar di Lingkungan tersebut mencerminkan Pasar (Pertokoan).

            Keadaan seperti itu sempat berjalan dan bertahan beberapa Tahun saja seiring Perkembangan Jaman dan Pesatnya Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan nampaknya mereka mulai merubah Bentuk Bangunan menurut Selera masing-masing.

            Tahun 1988 Tanah Pasar dan Tanah Lokasi Balai Desa dimohonkan Sertipikat oleh Desa Dinas dengan maksud agar Kepemilikannya memiliki Kekuatan Hukum Tetap.

            Karena Kedua Bidang Tanah tersebut berstatus Tanah Negara yang telah lama dimanfaatkan dan dikelola untuk Kepentingan Desa , Namun menurut Prinsip Pertanahan semua Tanah Negara di Kuasai oleh Pemerintah Daerah.

            Dan pada Tahun 1989 terbitlah pada waktu yang bersamaan Sertipikat Kedua Bidang Tanah An. Pemda Tingkat II Buleleng.

  1. Sebidang Tanah luasnya 6.950 M2 status Hak Pakai No : 7 dipergunakan untuk Pasar.
  2. Sebidang Tanah luasnya 1.700 M2 status Hak Pakai No : 6 dipergunakan untuk Lokasi Kantor Kepala Desa / Perbekel.

Dengan ketentuan bahwa Tanah tersebut tidak boleh dialihkan kepada Pihak lain baik Penggunaan maupun status Penguasaannya atas Tanah tersebut dalam bentuk apapun baik sebagian ataupun Keseluruhan tanpa Ijin Tertulis terlebih dahulu dari Gubernur Tingkat I Bali Cq. Kepala Direktorat Agraria menurut ketentuan –ketentuan yang berlaku.

            Pada Tahun 1991 menerima Bantuan berupa Los Pasar Desa dari Pemerintah Tingkat II Buleleng sejak itu mulai dimanfaatkan oleh para Pedagang Lokal maupun luar Desa semakin ramai dan berkembang hingga sekarang.

            Khusus Tanah Lokasi Kantor Perbekel sejak awal juga kurang lebih Tahun 1967 di tempati oleh beberapa Orang yang Membuka Usaha Potong Rambut (Tukang Cukur) dan Warung-Warung kecil dengan membayar Sewa setiap Tahun sejak di Terapkan APPKD tercantum pada Pos Penerimaan Sewa Perwarungan Depan Balai Desa.

            Pada Era Tahun 1950-an Transfortasi masih sulit , Jalan Raya belum diaspal(masih Berbatu) Kendaraan / Mobil yang lewat Jurusan Singaraja – Gilimanuk bisa dihitung jumlahnya , bahkan mungkin baru satu buah Kendaraan Roda Empat sejenis Sedan Merk ‘Tegas’ kepunyaan Orang Cina. Sepeda Motor bahkan belum ada saat itu.

Kurun Waktu 11 (Sebelas) Tahun sejak Tahun 1954 s/d 1965 Daerah ini masih berstatus Banjar yang Bernama Banjar Banyupoh , Perbekelan Gerokgak (Nama Perbekel saat itu PAN LATRI), Distrik Pengastulan, Punggawa Bubunan.  Sebelum 1958  Kelian Banjar dijabat oleh I Wayan Jegjeg sebagai Kelian Banjar kepertama dari Sinalud menjabat hanya beberapa Tahun karena Meninggal Dunia digantikan oleh Ida Bagus Arga dari Jembrana dan pada saat Kepemimpinannya sempat merancang Pendirian Pura Dalem yang berlokasi di Pura Merajapati sekarang dengan Peturunan Masyarakat per-KK sebesar Atalen ( Atalen sama dengan Seperempat Rupiah).

Kepemimpinan Ida Bagus Arga sebagai Kelian Banjar hingga Tahun 1958 dilanjutkan oleh Ida Ketut Darma.

            Dalam hal meningkatkan Usaha Tani sejak Tahun 1959 para Petani mulai Mencetak Sawah , mengatur Sistem Pengairan dan membentuk Organisasi Subak dengan Nama Subak Tua sebagai Kelian Subak Pertama adalah I Ketut Sanggra dari Bubunan selanjutnya dikembangkan menjadi beberapa Tempekan seperti , Tempekan Anyar , Tempekan Tegal , dan Tempekan Solas (Dengan Jumlah Anggota 11 Orang). Jumlah Anggota Subak saat itu mencapai 190 Orang lebih hingga sekarang Bernama Subak Banyupoh.

Perjalanan dari waktu ke waktu sampai di Tahun 1963 dengan Musibah Gunung Agung Meletus terjadi Peristiwa Siang Berubah menjadi Malam “Tepat pada Hari Minggu Tahun 1963 (Tanggal dan Bulan belum ditemukan) pagi hari Pukul 06.00 wib waktu itu Ayam sudah turun dari Tempat Bertengger (Tidurannya) namun beberapa saat semua kembali  ketempat semula karena Hari kembali Gelap Gulita , Sang Surya tidak sempat menampakkan Sinarnya ditutup oleh Hujan Bias (Hujan Pasir) setebal Pergelangan Kaki Orang Dewasa selama 12 Jam sampai Pukul 18.00 wib”

            Selama 2 (Dua) Tahun Banyupoh dilanda Krisis Ekonomi dan Politik yakni dari Tahun 1963 s/d 1965 Krisis Ekonomi dampak Gunung Agung Meletus , Kekurangan Pangan Beras tidak ada , Uang sulit didapat , Kemarau Panjang , Makan seadanya , Nasi terkadang dari Umbi-Umbian (Cacah Selem) , kalau toh ada Beras cuma sedikit dicampur (Oranin) dengan Jantung Pisang (Pusuh) atau Daun Ketela Pohon bahkan juga dengan Buah Ee (Ara). Bantuan Kemanusiaan hanya sekedar ada dan tidak merata berupa Jagung Korpingan Warna Merah Kekuning-kuningan dibelah dua (Jagung Panggal) datang dari bantuan KOOGA (Komando Operasi Gunung Agung) Meletus.

            Krisis Politik terjadi pada Tanggal 30 September 1965 dengan Peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta dan berdampak ke Daerah-Daerah sampai ke Desa-Desa terjadi kekacauan dan Keributan.

            Manusia boleh berencana namun Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa yang bisa Menentukan , tepat diawal Era Baru Tahun 1966 Pemerintah Daerah Buleleng mengambil langkah-langkah Kebijakan guna memperlancar Roda Pemerintahan , Meningkatkan Pelayanan kepada Masyarakat , Daerah yang masih berstatus Banjar dibawah Perbekelan Gerokgak khususnya , dikembangkan menjadi Desa Dinas. Termasuk pula Banjar Banyupoh secara resmi disahkan menjadi Desa Dinas dibagi menjadi 2 (Dua) Banjar yakni Banjar Banyupoh dan Banjar Kertakawat. Banjar Kertakawat berada di Wilayah / Wewidangan Pura Kertakawat maka dari itu disebut Banjar Kertakawat.

Dengan terbentuknya Desa Dinas Banyupoh Lahir pula 1 (Satu) Desa Tradisional yaitu Desa Adat Banyupoh dilengkapi dengan Pura Kahyangan Tiga berupa Pura Desa , Pura Segara , dan Pura Dalem namun Kondisi Bangunannya pada saat itu masih bersifat sementara (Turus Lumbung ) terkecuali Pura Dalem Bangunannya  sudah Semi Permanen dan sebagai Kelian Adat kepertama adalah I Ketut Sweca dari Tegallenge.

 

            Tanggal 14 Mei 1966 merupakan Tonggak Sejarah Berdirinya Desa Dinas Banyupoh dan Tanggal ini kemudian ditetapkan  sebagai Hari Lahirnya Desa Dinas Banyupoh. Keperbekelan Desa Banyupoh sendiri dimulai dari Tahun 1966 , sejak Tahun 1966 sampai diterbitkannya Buku Sejarah ini Banyupoh sudah memiliki 6 (Enam) Perbekel (Kepala Desa). I Putu Dangu adalah Perbekel kepertama yang Memimpin Desa ini sampai Tahun 1968 kemudian diteruskan oleh Ida Ketut Darma hingga Tahun 1978. Menjelang Akhir Masa Jabatan Ida Ketut DarmaBanyupoh ditimpa Musibah Gempa Bumi cukup Dahsyat dengan kekuatan 6,4 SR (Skala Richter) terjadi pada Tanggal 14 Juli 1976 yang melanda Buleleng bagian barat yang terparah di Kecamatan Seririt dan Kecamatan Gerokgak yang mengakibatkan seluruh Bangunan Rumah dan Fasilitas Umum rusak total dan beruntung Korban Jiwa tidak ada karena Peristiwa tersebut terjadi pada Pukul 14.00 wita.

Ketut Sanggra adalah Perbekel yang ke-3 Menjabat selama 10 (Sepuluh) Tahun hingga Tahun 1989 kemudian digantikan oleh I Ketut Seten sampai Tahun 1997.

            I Nyoman Westen Sekretaris Desa saat itu telah menjabat selama 24 (Dua Puluh Empat)Tahun sempat menjalankan Roda Pemerintahan di Desa ini sebagai PJS.Kepala Desa selama 1 (Satu) Tahun hingga Tahun 1998. Disamping menjalankan tugas-tugas bidang Pemerintahan  Pembangunan dan Kemasyarakatan , juga memperoses Pemilihan Kepala Desa selain itu juga mempersiapkan Pemekaran / Pengembangan Dusun.

            Kadek Suama adalah Kepala Desa terpilih pada saat itu menjabat hingga April 2004 dan Putu Sukerata yang saat itu selaku Kaur Umum melanjutkan Roda Pemerintahan Desa ini sebagai PJS.Kepala Desa hingga 14 Juli 2005. Dan Sekarang , sejak 14 Juli 2005 Banyupoh dipimpin oleh Made Suarsana.

 

Layanan Mandiri


Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.

Masukkan NIK dan PIN!

Media Sosial

FacebookTwitterYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah Pengunjung

Lokasi Banyupoh

tampilkan dalam peta lebih besar